A. PENDAHULUAN
1.
1. Latar Belakang
Pada dasarnya setiap anak berpotensi mengalami problema dalam
belajar, hanya saja problema tersebut ada yang ringan dan tidak memerlukan
perhatian khusus dari orang lain karena dapat diatasi sendiri oleh anak yang
bersangkutan dan ada juga yang problem belajarnya cukup berat sehingga perlu
mendapatka perhatian dan bantuan dari orang lain. Anak luar biasa atau disebut
sebagai anak berkebutuhan khusus (children with special needs), memang tidak
selalu mengalami problem dalam belajar. Namun, ketika mereka diinteraksikan
bersama-sama dengan anak- anak sebaya lainnya dalam system pendidikan regular,
ada hal-hal tertentu yang harus mendapatkan perhatian khusus dari guru dan
sekolah untuk mendapatkan hasil belajar yang optimal.
Pembelajaran untuk anak berkebutuhan khusus (student with
special needs) membutuhkan suatu strategi tersendiri sesuai dengan kebutuhan
masing – masing . Dalam penyusunan progam pembelajaran untuk setiap bidang
studi hendaknya guru kelas sudah memiliki data pribadi setiap peserta didiknya.
Data pribadi yakni berkaitan dengan karateristik spesifik, kemampuan dan
kelemahanya, kompetensi yang dimiliki, dan tingkat perkembanganya.
Karakteristik spesifik student with special needs pada umumnya berkaitan dengan
tingkat perkembangan fungsional . Karaktristik spesifik tersebut meliputi
tingkat perkembangan sensori motor, kognitif, kemampuan berbahasa, ketrampilan
diri, konsep diri, kemampuan berinteraksi social serta kreativitasnya.
Untuk mengetahui
secara jelas tentang karakteristik dari setiap siswa seorang guru terlebih
dahulu melakukan skrining atau asesmen agar
mengetahui secara jelas mengenai kompetensi diri peserta didik bersangkutan.
Tujuannya agar saat memprogamkan pembelajaran sudah dipikirkan mengenbai bentuk
strategi pembelajaran yanag di anggap cocok. Asesmen di sini adalah
proses kegiatan untuk mengetahui kemampuan dan kelemahan setiap peserta didik
dalam segi perkembangan kognitif dan perkembangan social, melalui pengamatan
yang sensitive. Kegiatan ini biasanya memerlukan penggunaan instrument khusus
secara baku atau di buat sendiri oleh guru kelas.
Model pembelajaran
terhadap peserta didik berkebutuhan khusus yang di persiapkan oleh guru di
sekolah, di tujukan agar peserta didik mampu berinteraksi terhadap lingkungan
social. Pembelajaran tersebut disusun secara khusus melalui penggalian
kemampuan diri peserta didik yang didasarkan pada kurikulum berbasis
kompetensi. Kompetensi ini terdiri atas empat ranah yang perlu diukur meliputi
kompetensi fisik, kompetensi afektif, kompetensi sehari- hari dan kompetensi
akademik. [1]Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai ”Strategi Pembelajaran bagi Anak Berkebutuhan Khusus”
1.
2. Rumusan Masalah
1.
Apakah definisi dari anak berkebutuhan khusus?
2.
Bagaimana jenis dan karakteristik anak berkebutuhan khusus?
3.
Bagaimana strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus?
1.
3. Tujuan
1.
Menjelaskan definisi dari anak berkebutuhan khusus.
2.
Mengidentifikasi jenis dan karakteristik anak berkebutuhan
khusus.
3.
Menjelaskan strategi pembelajaran bagi anak berkebutuhan khusus.
B. PEMBAHASAN
1.
1. Definisi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan
khusus (Heward) adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan
anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi
atau fisik.[2] Anak dengan kebutuhan khusus adalah
anak yang secara signifikan mengalami kelainan/ penyimpangan (fisik,
mental-intelektual, sosial, dan emosional) dalam proses pertumbuhkembangannya
dibandingkan dengan anak-anak lain yang seusia sehingga memerlukan pelayanan pendidikan
khusus.[3]
Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk menggantikan kata “Anak Luar Biasa
(ALB)” yang menandakan adanya kelainan khusus. Anak berkebutuhan khusus
mempunyai karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya.
Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki, ABK memerlukan bentuk pelayanan
pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi mereka,
contohnya bagi tunanetra mereka memerlukan modifikasi teks bacaan menjadi tulisan Braille dan tunarungu
berkomunikasi menggunakan bahasa isyarat. Anak berkebutuan
khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) sesuai dengan
kekhususannya masing-masing. SLB bagian A untuk tunanetra, SLB bagian B untuk tunarungu,
SLB bagian C untuk tunagrahita, SLB bagian D untuk tunadaksa, SLB bagian E
untuk tunalaras dan SLB bagian G untuk cacat ganda.
1.
2. Jenis Dan Karakteristik Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan
khusus yang paling banyak mendapat perhatian guru antara lain[4] :
a.Tunagrahita (Mental
retardation)
Ada beberapa definisi dari tunagrahita, antara lain:
1.
American Association on Mental Deficiency (AAMD) dalam B3PTKSM,
(p. 20) mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita sebagai kelainan yang
meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata (sub-average), yaitu IQ 84
ke bawah berdasarkan tes individual; yang muncul sebelum usia 16 tahun; dan
menunjukkan hambatan dalam perilaku adaptif.
2.
Japan League for Mentally Retarded (1992: p.22) dalam B3PTKSM
(p. 20-22), mendefinisikan retardasi mental/tunagrahita ialah fungsi
intelektualnya lamban, yaitu IQ 70 ke bawah berdasarkan tes intelegensi baku; kekurangan
dalam perilaku adaptif; dan terjadi pada masa perkembangan, yaitu antara masa
konsepsi hingga usia 18 tahun.
3.
The New Zealand Society for the Intellectually Handicapped
menyatakan tentang tunagrahita adalah bahwa seseorang dikatakan tunagrahita apabila
kecerdasannya jelas-jelas di bawah rata-rata dan berlangsung pada masa
perkembangan serta terhambat dalam adaptasi tingkah laku terhadap lingkungan
sosialnya.
4.
Definisi tunagrahita yang dipublikasikan oleh American
Association on Mental Retardation (AAMR). Di awal tahun 60-an, tunagrahita
merujuk pada keterbatasan fungsi intelektual umum dan keterbatasan pada
keterampilan adaptif. Keterampilan adaptif mencakup area : komunikasi, merawat
diri, home living, keterampilan sosial, bermasyarakat, mengontrol diri,
functional academics, waktu luang, dan kerja. Menurut definisi ini,
ketunagrahitaan muncul sebelum usia 18 tahun.
5.
Menurut WHO seorang tunagrahita memiliki dua hal yang esensial
yaitu fungsi intelektual secara nyata di bawah rata-rata dan adanya ketidakmampuan
dalam menyesuaikan diri dengan norma dan tututan yang berlaku dalam masyarakat.[5]
Adapun cara mengidentifikasi seorang anak termasuk tunagrahita
yaitu melalui beberapa indikasi sebagai berikut:
1.
Penampilan fisik tidak seimbang, misalnya kepala terlalu
kecil/besar,
2.
Tidak dapat mengurus diri sendiri sesuai usia,
3.
Perkembangan bicara/bahasa terlambat
4.
Tidak ada/kurang sekali perhatiannya terhadap lingkungan
(pandangan kosong),
5.
Koordinasi gerakan kurang (gerakan sering tidak terkendali),
6.
Sering keluar ludah (cairan) dari mulut (ngiler).
1.
b. Tunalaras (Emotional or behavioral disorder)
·
Nilai standarnya 4
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam
mengendalikan emosi dan kontrol sosial. individu tunalaras biasanya menunjukan
prilaku menyimpang yang tidak sesuai dengan norma dan aturan yang berlaku
disekitarnya. Tunalaras dapat disebabkan karena faktor internal dan faktor
eksternal yaitu pengaruh dari lingkungan sekitar.
Menurut Eli M. Bower (1981), anak dengan hambatan emosional atau
kaelainan perilaku, apabila menunjukkan adanya satu atau lebih dari lima
komponen berikut:
1.
Tidak mampu belajar bukan disebabkan karena factor intelektual,
sensori atau kesehatan.
2.
Tidak mampu untuk melakukan hubungan baik dengan teman-teman dan
guru-guru.
3.
Bertingkah laku atau berperasaan tidak pada tempatnya.
4.
Secara umum mereka selalu dalam keadaan pervasive dan
tidak menggembirakan atau depresi.
5.
Bertendensi kea rah symptoms fisik: merasa sakit atau ketakutan
berkaitan dengan orang atau permasalahan di sekolah.
Anak yang mengalami
gangguan emosi dan perilaku juga bisa diidentifikasi melalui indikasi berikut:[6]
1.
Bersikap membangkang,
2.
Mudah terangsang emosinya,
3.
Sering melakukan tindakan aggresif,
4.
Sering bertindak melanggar norma social/norma susila/hukum.
1.
c. Tunarungu Wicara (Communication disorder and deafness)
Tunarungu adalah
individu yang memiliki hambatan dalam pendengaran baik permanen maupun tidak
permanen. Klasifikasi tunarungu berdasarkan tingkat gangguan pendengaran
adalah:[7]
1.
Gangguan pendengaran sangat ringan(27-40dB),
2.
Gangguan pendengaran ringan(41-55dB),
3.
Gangguan pendengaran sedang(56-70dB),
4.
Gangguan pendengaran berat(71-90dB),
5.
Gangguan pendengaran ekstrim/tuli(di atas 91dB).
Karena memiliki
hambatan dalam pendengaran individu tunarungu memiliki hambatan dalam berbicara
sehingga mereka biasa disebut tunawicara. Cara berkomunikasi
dengan individu menggunakan bahasa isyarat, untuk abjad jari
telah dipatenkan secara internasional sedangkan untuk isyarat bahasa
berbeda-beda di setiap negara. saat ini dibeberapa sekolah sedang
dikembangkan komunikasi total yaitu cara
berkomunikasi dengan melibatkan bahasa verbal, bahasa isyarat dan bahasa tubuh.
Individu tunarungu cenderung kesulitan dalam memahami konsep dari sesuatu yang
abstrak.
Berikut identifikasi
anak yang mengalami gangguan pendengaran[8]:
1.
Tidak mampu mendengar,
2.
Terlambat perkembangan bahasa,
3.
Sering menggunakan isyarat dalam berkomunikasi,
4.
Kurang/tidak tanggap bila diajak bicara,
5.
Ucapan kata tidak jelas,
6.
Kualitas suara aneh/monoton,
7.
Sering memiringkan kepala dalam usaha mendengar,
8.
Banyak perhatian terhadap getaran,
9.
Keluar nanah dari kedua telinga,
10. Terdapat kelainan
organis telinga.
·
Nilai standarnya 7.
1.
d. Tunanetra (Partially seing and legally blind)
Tunanetra adalah
individu yang memiliki hambatan dalam penglihatan. tunanetra dapat
diklasifikasikan kedalam dua golongan yaitu: buta total (Blind) dan low vision. Definisi Tunanetra
menurut Kaufman & Hallahan adalah individu
yang memiliki lemah penglihatan atau akurasi penglihatan kurang dari 6/60
setelah dikoreksi atau tidak lagi memiliki penglihatan. Karena tunanetra
memiliki keterbataan dalam indra penglihatan maka proses pembelajaran
menekankan pada alat indra yang lain yaitu indra peraba dan indra pendengaran.
Oleh karena itu prinsip yang harus diperhatikan dalam memberikan pengajaran
kepada individu tunanetra adalah media yang digunakan harus bersifat taktualdan bersuara, contohnya adalah penggunaan tulisan braille, gambar timbul, benda
model dan benda nyata. sedangkan media yang bersuara adalah tape recorder dan peranti
lunak JAWS. Untuk membantu tunanetra beraktivitas di
sekolah luar biasa mereka belajar mengenai Orientasi dan Mobilitas. Orientasi dan
Mobilitas diantaranya mempelajari bagaimana tunanetra mengetahui tempat dan
arah serta bagaimana menggunakan tongkat putih (tongkat khusus
tunanetra yang terbuat dari alumunium).
Berikut identifikasi
anak yang mengalami gangguan penglihatan:[9]
1.
Tidak mampu melihat,
2.
Tidak mampu mengenali orang pada jarak 6 meter,
3.
Kerusakan nyata pada kedua bola mata,
4.
Sering meraba-raba/tersandung waktu berjalan,
5.
Mengalami kesulitan mengambil benda kecil di dekatnya,
6.
Bagian bola mata yang hitam berwarna keruh/besisik/kering,
7.
Mata bergoyang terus.
·
Nilai standarnya adalah 6, artinya bila anak mengalami minimal 6
gejala di atas, maka anak termasuk tunanetra.
1.
e. Tunadaksa (physical disability)
Tunadaksa adalah
individu yang memiliki gangguan gerak yang disebabkan oleh kelainanneuro-muskular dan struktur
tulang yang bersifat bawaan, sakit atau akibat kecelakaan, termasuk celebral palsy, amputasi, polio, dan lumpuh. Tingkat gangguan
pada tunadaksa adalah ringan yaitu memiliki keterbatasan dalam melakukan
aktivitas fisiktetap masih dapat
ditingkatkan melalui terapi, sedang yaitu memilki keterbatasan motorik dan
mengalami gangguan koordinasi sensorik, berat yaitu memiliki keterbatasan total
dalam gerakan fisik dan tidak mampu mengontrol gerakan fisik.
Berikut identifikasi
anak yang mengalami kelainan anggota tubuh tubuh/gerak tubuh:[10]
1.
Anggota gerak tubuh kaku/lemah/lumpuh,
2.
Kesulitan dalam gerakan (tidak sempurna, tidak lentur/tidak
terkendali),
3.
Terdapat bagian anggota gerak yang tidak lengkap/tidak
sempurna/lebih kecil dari biasa,
4.
Terdapat cacat pada alat gerak,
5.
Jari tangan kaku dan tidak dapat menggenggam,
6.
Kesulitan pada saat berdiri/berjalan/duduk, dan menunjukkan
sikap tubuh tidak normal,
7.
Hiperaktif/tidak dapat tenang.
·
Nilai standarnya 5.
1.
f. Tunaganda (Multiple handicapped)
Menurut Johnston & Magrab, tunaganda adalah mereka yang
mempunyai kelainan perkembangan mencakup kelompok yang mempunyai
hambatan-hambatan perkembangan neurologis yang disebabkan oleh satu atau dua
kombinasi kelainan dalam kemampuan seperti intelegensi, gerak, bahasa, atau
hubungan pribadi di masyarakat.
Walker (1975) berpendapat mengenai tunaganda sebagai berikut:
1.
Seseorang dengan dua hambatan yang masing-masing memerlukan
layanan-layanan pendidikan khusus.
2.
Seseorang dengan hambatan-hambatan ganda yang memerlukan layanan
teknologi.
3.
Seseorang dengan hambatan-hambatan yang memerlukan modifikasi
khusus.
1.
g. Kesulitan Belajar (Learning disabilities)
Anak dengan kesulitan
belajar adalah individu yang memiliki gangguan pada satu atau lebih kemampuan
dasar psikologis yang mencakup pemahaman dan penggunaan bahasa, berbicara dan
menulis yang dapat memengaruhi kemampuan berfikir, membaca,berhitung, berbicara yang disebabkan karena gangguan persepsi, brain injury, disfungsi minimal otak, dislexia, dan afasia perkembangan. individu kesulitan belajar
memiliki IQ rata-rata atau diatas rata-rata, mengalami gangguan motorik
persepsi-motorik, gangguan koordinasi gerak, gangguan orientasi arah dan ruang
dan keterlambatan perkembangan konsep.
Berikut adalah
karakteristik anak yang mengalami kesulitan belajar dalam membaca, menulis dan
berhitung[11]:
1.
Anak yang mengalami kesulitan membaca (disleksia)
2.
Perkembangan kemampuan membaca terlambat,
3.
Kemampuan memahami isi bacaan rendah,
4.
Kalau membaca sering banyak kesalahan
·
Nilai standarnya 3.
1.
Anak yang mengalami kesulitan menulis (disgrafia)
2.
Kalau menyalin tulisan sering terlambat selesai,
3.
Sering salah menulis huruf b dengan p, p dengan q, v dengan u, 2
dengan 5, 6 dengan 9, dan sebagainya,
4.
Hasil tulisannya jelek dan tidak terbaca,
5.
Tulisannya banyak salah/terbalik/huruf hilang,
6.
Sulit menulis dengan lurus pada kertas tak bergaris.
·
Nilai standarnya 4.
1.
Anak yang mengalami kesulitan berhitung (diskalkula)
2.
Sulit membedakan tanda-tanda: +, -, x, :, >, <, =
3.
Sulit mengoperasikan hitungan/bilangan,
4.
Sering salah membilang dengan urut,
5.
Sering salah membedakan angka 9 dengan 6; 17 dengan 71, 2 dengan
5, 3 dengan 8, dan sebagainya,
6.
Sulit membedakan bangun-bangun geometri.
·
Nilai standarnya 4.
1.
h. Anak Berbakat (Giftedness and special talents)
Menurut Milgram, R.M (1991:10), anak berbakat adalah mereka yang
mempunyai skor IQ 140 atau lebih diukur dengan instrument Stanford Binet
(Terman, 1925), mempunyai kreativitas tinggi (Guilford, 1956), kemampuan
memimpin dan kemampuan dalam seni drama, seni tari dan seni rupa (Marlan,
1972).
Anak berbakat mempunyai empat kategori, sebagai berikut:
1.
Mempunyai kemampuan intelektual atau intelegensi yang
menyeluruh, mengacu pada kemampuan berpikir secara abstrak dan mampu memecahkan
masalah secara sistematis dan masuk akal.
2.
Kemampuan intelektual khusus, mengacu pada kemampuan yang
berbeda dalam matematika, bahasa asing, music, atau ilmu pengetahuan alam.
3.
Berpikir kreatif atau berpikir murni menyeluruh. Pada umumnya
mampu berpikir untuk menyelesaikan masalah yang tidak umum dan memerlukan
pemikiran tinggi.
4.
Mempunyai bakat kreatif khusus, bersifat orisinil dan berbeda dengan
yang lain.
Dari keempat kategori di atas, maka anak berbakat adalah mereka
yang mempunyai kemampuan-kemampuan yang unggul dalam segi intelektual, teknik,
estetika, social, fisik (Freemen, J. 1975:120), akademik, psikomotor dan
psikososial (Sisk,1987 dalam Amin, M. 1996:3).
Berikut identifikasi
anak berbakat atau anak yang memilki kecerdasan dan kemampuan yang luar biasa[12]:
1.
Membaca pada usia lebih muda,
2.
Membaca lebih cepat dan lebih banyak,
3.
Memiliki perbendaharaan kata yang luas,
1.
Mempunyai rasa ingin tahu yang kuat,
2.
Mempunayi minat yang luas, juga terhadap masalah orang dewasa,
4.
Mempunyai inisiatif dan dapat berkeja sendiri,
5.
Menunjukkan keaslian (orisinalitas) dalam ungkapan verbal,
1.
Memberi jawaban-jawaban yang baik,
6.
Dapat memberikan banyak gagasan,
7.
Luwes dalam berpikir,
1.
Terbuka terhadap rangsangan-rangsangan dari lingkungan,
8.
Mempunyai pengamatan yang tajam,
m. Dapat berkonsentrasi untuk jangka waktu panjang,
terutama terhadap
1.
tugas atau bidang yang diminati,
2.
Berpikir kritis, juga terhadap diri sendiri,
1.
Senang mencoba hal-hal baru,
2.
Mempunyai daya abstraksi, konseptualisasi, dan sintesis yang
tinggi,
3.
Senang terhadap kegiatan intelektual dan pemecahan masalah,
3.
Cepat menangkap hubungan sebabakibat,
4.
Berperilaku terarah pada tujuan,
5.
Mempunyai daya imajinasi yang kuat,
1.
Mempunyai banyak kegemaran (hobi),
w. Mempunyai daya ingat yang kuat,
1.
Tidak cepat puas dengan prestasinya,
2.
Peka (sensitif) serta menggunakan firasat (intuisi),
3.
Menginginkan kebebasan dalam gerakan dan tindakan.
4.
i. Anak Autistik
·
Nilai standarnya 18.
Autism Syndrome merupakan
kelainan yang disebabkan adanya hambatan pada ketidakmampuan berbahasa yang
diakibatkan oleh kerusakan pada otak. Gejala-gejala autism menurut Delay &
Deinaker (1952) dan Marholin & Philips (1976) antara lain:
1.
Senang tidur bermalas-malasan atau duduk menyendiri dengan
tampang acuh, muka pucat, dan mata sayu dan selalu memandang ke bawah.
2.
Selalu diam sepanjang waktu.
3.
Jika ada pertanyaan terhadapnya, jawabannya sangat pelan dengan
nada monoton, kemudian dengan suara yang aneh akan menceritakan dirinya dengan
beberapa kata kemudian diam menyendiri lagi.
4.
Tidak pernah bertanya, tidak menunjukkan rasa takut dan tidak
menyenangi sekelilingnya.
5.
Tidak tampak ceria.
6.
Tidak peduli terhadap lingkungannya, kecuali terhadap benda yang
disukainya.
Secara umum anak autis mengalami kelainan dalam berbicara,
kelainan fungsi saraf dan intelektual, Hal tersebut dapat terlihat dengan
adanya keganjilan perilaku dan ketidakmampuan berinteraksi dengan lingkungan
sekitarnya.
1.
j. Hyperactive (Attention Deficit Disorder with
Hyperactive)
Hyperactive bukan
merupakan penyakit tetapi suatu gejala atau symptoms. (Batshaw & Perret,
1986: 261).symptoms terjadi disebabkan oleh factor-faktor brain damage,
an emotional disturbance, a hearing deficit or mental retardaction. Dewasa
ini banyak kalangan medis masih menyebut anak hiperaktif dengan istilah attention
deficit disorder (ADHD) (Solek, P. 2004:4)
1.
3. Strategi Pembelajaran Bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Anak berkebutuhan
khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer(sementara)
dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporermeliputi:
anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah,
anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah
perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban
HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah
anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention
Deficiency andHiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak
berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.
Untuk menangani ABK
tersebut dalam setting pendidikan inklusif di Indonesia, tentu memerlukan
strategi khusus. Pendidikan inklusi mempunyai pengertian yang
beragam.Stainback dan Stainback (1990) mengemukakan bahwa: sekolah
inklusi[13] adalah sekolah yang menampung
semua siswa di kelas yang sama. Sekolah ini menyediakan program pendidikan yang
layak, menantang, tetapi sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan setiap siswa,
maupun bantuan dan dukungan yang dapat diberikan oleh para guru agar anak-anak
berhasil. Lebih dari itu, sekolah inklusi juga merupakan tempat setiap anak
dapat diterima, menjadi bagian dari kelas tersebut, dan saling membantu dengan
guru dan teman sebayanya, maupun anggota masyarakat lain agar kebutuhan
individualnya dapat terpenuhi.Selanjutnya, Staub dan Peck (1995)
menyatakan bahwa: pendidikan inklusi[14]adalah penempatan anak
berkelainan tingkat ringan, sedang, dan berat secara penuh di kelas reguler.
Hal ini menunjukkan bahwa kelas reguler merupakan tempat belajar yang relevan
bagi anak berkelainan, apapun jenis kelainannya dan bagaimanapun gradasinya. Sementara
itu, Sapon-Shevin (O’Neil, 1995) menyatakan bahwa pendidikan
inklusi sebagai sistem layanan pendidikan yang mempersyaratkan agar semua
anak berkelainan dilayani di sekolah-sekolah terdekat, di kelas reguler
bersama-sama teman seusianya. Oleh karena itu, ditekankan adanya perombakan
sekolah, sehingga menjadi komunitas yang mendukung pemenuhan kebutuhan khusus
setiap anak, sehingga sumber belajar menjadi memadai dan mendapat dukungan dari
semua pihak, yaitu para siswa, guru, orang tua, dan masyarakat sekitarnya.
Melalui pendidikan
inklusi, anak berkelainan dididik bersama-sama anak lainnya (normal) untuk
mengoptimalkan potensi yang dimilikinya (Freiberg, 1995). Hal ini
dilandasi oleh kenyataan bahwa di dalam masyarakat terdapat anak normal dan
anak berkelainan yang tidak dapat dipisahkan sebagai suatu komunitas.
Dalam hal ini, ada empat strategi pokok yang diterapkan
pemerintah, yaitu: peraturan perundang-undangan yang menyatakan jaminan kepada
setiap warga negara Indonesia (termasuk ABK temporer dan permanen) untuk
memperoleh pelayanan pendidikan, memasukkan aspek fleksibilitas dan
aksesibilitas ke dalam sistem pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan
informal. Selain itu, menerapkan pendidikan berbasis teknologi informasi dan
komunikasi (TIK) dan mengoptimalkan peranan guru.
Di bawah ini beberapa strategi pembelajaran bagi anak
berkebutuhan khusus:
1.
1. Strategi pembelajaran bagi anak tunanetra
Strategi pembelajaran pada dasarnya adalah pendayagunaan secara
tepat dan optimal dari semua komponen yang terlibat dalam proses pembelajaran
yang meliputi tujuan, materi pelajaran, media, metode, siswa, guru, lingkungan
belajar dan evaluasi sehingga proses pembelajaran berjalan dengan efektif dan
efesien. Beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam
menentukan strategi pembelajaran , antara lain:
1.
Berdasarkan pengolahan pesan terdapat dua strategi yaitu
strategi pembelajaran deduktif dan induktf.
2.
Berdasarkan pihak pengolah pesan yaitu strategi pembelajaran ekspositorik
dan heuristic.
3.
Berdasarkan pengaturan guru yaitu strategi pembelajaran dengan
seorang guru dan beregu.
4.
Berdasarkan jumlah siswa yaitu strategi klasikal, kelompok kecil
dan individual.
5.
Beradsarkan interaksi guru dan siswa yaitu strategi tatap muka,
dan melalui media.
Selain strategi yang telah disebutkan di atas, ada strategi lain
yang dapat diterapkan yaitu strategi individualisasi, kooperatif dan modifikasi
perilaku.
1.
2. Strategi pembelajaran bagi anak berbakat
Strategi pembelajaran yang sesuai denagan kebutuhan anak
berbakat akan mendorong anak tersebut untuk berprestasi. Hal-hal yang harus
diperhatikan dalam meneentukan strategi pembelajaran adalah :
1.
Pembelajaran harus diwarnai dengan kecepatan dan tingkat
kompleksitas.
2.
Tidak hanya mengembangkan kecerdasan intelektual semata tetapi
juga mengembangkan kecerdasan emosional.
3.
Berorientasi pada modifikasi proses, content dan produk.
Model-model layanan yang bias diberikan pada anak berbakat yaitu
model layanan perkembangan kognitif-afektif, nilai, moral, kreativitas dan
bidang khusus.
1.
3. Strategi pembelajaran bagi anak tunagrahita
Strtegi pembelajaran anak tunagrahita ringan yang belajar di
sekolah umum akan berbeda dengan strategi anak tunagrahita yang belajar di
sekolah luar biasa. Strategi yang dapat digunakan dalam mengajar anak
tunagrahita antara lain;
1.
Strategi pembelajaran yang diindividualisasikan
2.
Strategi kooperatif
3.
Strategi modifikasi tingkah laku
1.
4. Strategi pembelajaran bagi anak tunadaksa
Strategi yang bias diterapkan bagi anak tunadaksa yaitu melalui
pengorganisasian tempat pendidikan, sebagai berikut:
1.
Pendidikan integrasi (terpadu)
2.
Pendidikan segresi (terpisah)
3.
Penataan lingkungan belajar
4.
5. Strategi pembelajaran bagi anak tunalaras
Untuk memberikan layanan kepada anak tunalaras, Kauffman (1985)
mengemukakan model-model pendekatan sebagai berikut;
1.
Model biogenetic
2.
Model behavioral/tingkah laku
3.
Model psikodinamika
4.
Model ekologis
5.
6. Strategi pembelajaran bagi anak dengan kesulitan belajar
1.
Anak berkesulitan belajar membaca yaitu melalui program delivery
dan remedial teaching
2.
Anak berkesulitan belajar menulis yaitu melalui remedial sesuai
dengan tingkat kesalahan.
3.
Anak berkesulitan belajar berhitung yaitu melalui program remidi
yang sistematis sesuai dengan urutan dari tingkat konkret, semi konkret dan
tingkat abstrak.
6.
7. Strategi pembelajaran bagi anak tunarungu
Strategi yang biasa digunakan untuk anak tunarungu antara lain:
strategi deduktif, induktif, heuristic, ekspositorik, klasikal, kelompok,
individual, kooperatif dan modifikasi perilaku.
1.
C. KESIMPULAN
Anak Berkebutuhan Khusus (ABK) merupakan istilah lain untuk
menggantikan kata “Anak Luar Biasa (ALB)” yang menandakan adanya kelainan
khusus. Anak berkebutuhan khusus mempunyai karakteristik yang berbeda antara
yang satu dengan yang lainnya. Karena karakteristik dan hambatan yang dimilki,
ABK memerlukan bentuk pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan
kemampuan dan potensi mereka.
Anak berkebutuhan
khusus (ABK) ini ada dua kelompok, yaitu: ABK temporer(sementara)
dan permanen (tetap). Adapun yang termasuk kategori ABK temporermeliputi:
anak-anak yang berada di lapisan strata sosial ekonomi yang paling bawah,
anak-anak jalanan (anjal), anak-anak korban bencana alam, anak-anak di daerah
perbatasan dan di pulau terpencil, serta anak-anak yang menjadi korban
HIV-AIDS. Sedangkan yang termasuk kategori ABK permanen adalah
anak-anak tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, Autis, ADHD (Attention
Deficiency andHiperactivity Disorders), Anak Berkesulitan Belajar, Anak
berbakat dan sangat cerdas (Gifted), dan lain-lain.
DAFTAR PUSTAKA
Delphie, Bandi.
2006. Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Bandung: Refika
Aditama.
Abdurrahman, Mulyono.
1999. Pendidikan Bagi Anak Berkesulitan Belajar. Jakarta:
Rineka Cipta.
Delphie, Bandi.
2006. Pembelajaran Anak Tunagrahita. Bandung: Refika Aditama.
Wardani, I.G.A.K.
2007. Pengantar Pendidikan Luar Biasa. Jakarta: Universitas
Terbuka.
Hamalik, Oemar.
2007. Proses Belajar Mengajar. Jakarta: Bumi Aksara.
Skjorten, MD.
(2001). Towards Inclusion, Education-Special Needs Education An
Introduction.Oslo: Unipub forlag.
Santrock, John W.
(1997). Live-Span Development.Sixth Edition. USA. Brown &
Benchmark Publisher.
Skjorten, MD.
(2001). Towards Inclusion and Enrichment, Artikel in Johnsen. Oslo:
Unipub forlag.
http://vantheyologi.wordpress.com/2009/10/19/anak-tuna-netra/
[1] Greenspan, 1997:
131, dalam smith et al., 2002: 95.
[4] Kauffman dan
Hallahan. Th. 2005: 28-45.
[13] http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip-pembelajaran-di-sekolah-inklusi-tuna-laras
[14] http://www.bintangbangsaku.com/content/prinsip-prinsip-pembelajaran-di-sekolah-inklusi-tuna-laras
No comments:
Post a Comment